![]() |
Foto istimewa |
Oleh:
Pdt. Fridolin R. Kwalomine
Labuha, ibu kota Kabupaten Halmahera Selatan, kembali terendam banjir. Minggu pagi, 20 Juni, air naik setinggi paha orang dewasa. Rumah-rumah warga, sekolah, tempat ibadah, dan pertokoan tergenang. Tidak ada yang luput, kecuali bangunan-bangunan tinggi yang dibangun di atas fondasi sadar risiko.
Sejarah mencatat, Labuha adalah kota tua yang dibentuk oleh kekuasaan kolonial. Benteng Bernaveld peninggalan Portugis masih berdiri sebagai bukti bahwa kawasan ini dahulu menjadi pusat aktivitas politik dan ekonomi. Sistem drainase warisan kolonial Belanda konon pernah sangat andal—dirancang untuk mengantisipasi banjir di atas kontur tanah delta yang labil. Namun, seiring berjalannya waktu, drainase itu terabaikan dan perlahan terkubur. Hari ini, Labuha justru tumbuh sebagai kota yang rentan terhadap air.
Banjir bukan lagi soal curah hujan. Beberapa kali Labuha digenangi air bahkan saat tidak ada hujan sama sekali. Sungai Anggoi meluap akibat banjir kiriman dari hulu. Ini bukan sekadar fenomena lokal, tapi persoalan tata ruang dan hilangnya daerah tangkapan air.
Sayangnya, di tengah kerusakan ekologis ini, aparatur desa secara terbuka mengaku tidak tahu bahwa penebangan hutan bakau dapat menyebabkan banjir. Pernyataan ini bukan hanya menyedihkan, tetapi juga berbahaya. Ia mencerminkan kegagalan ekologi dalam kepemimpinan lokal. Hutan bakau bukan sekadar hiasan pesisir, tetapi sistem alami penahan air yang vital. Mengabaikannya adalah mengundang bencana.
Respons pemerintah terhadap banjir Labuha, seperti biasa, masih bertumpu pada bantuan darurat: mie instan, beras, air kemasan. Ini pola penanganan yang sudah usang dan tidak menyentuh akar masalah. Yang dibutuhkan warga bukan sekadar bantuan logistik, tetapi perlindungan struktural dari risiko bencana yang makin rutin.
Permasalahan banjir Labuha adalah buah dari pembangunan yang tidak berkesinambungan. Tidak ada peta jalan yang utuh. Pembangunan berganti-ganti sesuai selera kepala daerah. Hari ini taman, besok tugu. Sementara sistem drainase dan perencanaan ruang tidak pernah mendapat tempat utama. Tidak ada kesinambungan visi. Pembangunan dikerjakan sebagai proyek, bukan sebagai perencanaan hidup bersama.
Baru-baru ini pemerintah daerah menggelar Musrenbang. Namun patut dipertanyakan, apakah perbaikan drainase dan mitigasi banjir masuk dalam prioritas? Atau kembali diabaikan, tenggelam dalam euforia rencana-rencana fisik yang tak berdampak langsung pada keselamatan warga?
Di tengah perubahan iklim global dan intensitas cuaca ekstrem yang meningkat, pemerintah daerah tidak lagi bisa menunda penguatan kapasitas adaptasi. Drainase adalah infrastruktur dasar. Mengabaikannya sama dengan membuka pintu bagi bencana.
Kini, Labuha sedang mengingatkan kita semua: bahwa kota tidak bisa hanya dibangun dengan aspal, taman, dan monumen. Kota harus dibangun dengan daya tahan terhadap bencana. Pembangunan harus berangkat dari pemahaman ekologis dan perencanaan jangka panjang yang konsisten.
Masyarakat tidak meminta kemewahan. Mereka hanya ingin hidup tenang, tidur nyenyak, dan bangun di pagi hari tanpa kekhawatiran rumah mereka akan kebanjiran.
Elegi Labuha adalah elegi bagi kota-kota lain yang bernasib sama. Kota yang dibangun tanpa visi, dipimpin tanpa pengetahuan, dan ditinggalkan saat bencana datang.