![]() |
Foto istimewa |
Mukhtar Adam,
Ketua ISNU Maluku Utara
Bank Indonesia pernah mencetak uang kartal pecahan seribu rupiah dengan gambar dua pulau kecil nan cantik: Pulau Maitara dan Pulau Tidore, dilihat dari Pulau Ternate. Gambar ini begitu ikonik, bahkan disebut-sebut sebagai salah satu pemandangan tercantik yang pernah diabadikan dalam uang kertas Indonesia. Tapi seperti kata filsuf kontemporer kita: "Jangan cepat terpesona oleh yang indah di dompet, tapi lihat dulu realitas di lapangan."
Uang seribu itu memang ringan di kantong, tapi berat maknanya. Ia adalah simbol dari sebuah negeri kepulauan, negeri dengan lebih dari 17 ribu pulau, yang sering dijuluki "negeri poros maritim dunia" atau "negeri seribu pulau", tapi sering kelihatan seperti negeri seribu paradoks.
Simbol gugus pulau dalam selembar uang kecil sebenarnya adalah bentuk pengakuan estetika terhadap bentuk asli Indonesia: bukan daratan, tapi kepulauan. Namun, sayangnya, pengakuan ini sering berhenti pada simbol, bukan pada substansi. Seolah negara ini lebih pintar menggambar pulau di atas uang, ketimbang membangun pulau dalam kebijakan.
Di tengah perayaan simbol ini, muncul hipotesa menarik dari Presiden Prabowo Subianto, yang disampaikan dengan gaya khas oleh Gus Imin. Bahwa teori kapitalisme klasik, dengan mazhab trickle-down effect, tidak cukup membawa bangsa ini pada cita-cita konstitusional, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kritik ini bukan hanya menyasar pada arsitektur kebijakan ekonomi, tapi juga pada paradigma yang telah using, bahwa pertumbuhan ekonomi dari atas akan menetes ke bawah. Sayangnya, di negeri kepulauan ini, yang menetes seringkali bukan kesejahteraan, melainkan air mata.
Mari kita ambil contoh Maluku Utara. Provinsi ini tak hanya menyimpan nikel, komoditas kekinian yang ramai dielu-elukan dalam jargon hilirisasi, tapi juga menyimpan sejarah panjang sumber daya yang pernah jadi rebutan dunia, cengkeh yang membawa armada Portugis dan Belanda, kelapa yang jadi sandaran ekonomi rakyat, kayu yang memicu ekspansi korporasi besar, emas yang dijanjikan sebagai berkat tapi sering berakhir menjadi kutukan.
Dari cengkeh yang memancing penjajahan hingga nikel yang mengusir warga dari hutan, Maluku Utara adalah wajah dari hipotesa Prabowo yang hidup dan bernapas, negara ini dibangun dengan logika ekonomi daratan, bukan kepulauan. Sumber daya diekstraksi, tapi nilai tambah pergi entah ke mana. Sementara masyarakat pulau masih berjibaku dengan akses dasar: listrik, air, sekolah, dan dermaga.
Inilah wajah ironi: negara kepulauan terbesar di dunia, tapi masih memakai lensa ekonomi kontinental untuk membaca dirinya sendiri. Akibatnya, kebijakan yang lahir pun bias-ibukota. Daerah yang menjadi ibukota (entah kabupaten, provinsi, atau nasional) biasanya menjadi pusat pembangunan, sementara wilayah lainnya hanya mendapatkan "efek rembesan". Maka tak heran jika kesenjangan antarpulau, antarwilayah, bahkan antarkampung di satu pulau terus melebar.
Para teknokrat kita, sebagian besar belajar teori pembangunan dari universitas bergengsi di Eropa dan Amerika, datang membawa rumus-rumus pembangunan daratan, lalu ditugaskan membangun pulau-pulau. Itu seperti menyuruh astronot memperbaiki kapal nelayan: niatnya baik, tapi alatnya tak cocok. Akhirnya lahir kebijakan-kebijakan yang distorsif, bahkan absurd: misalnya membangun industri nikel besar-besaran di pulau kecil tanpa memperhitungkan daya dukung ekologis dan sosial.
Uang seribu rupiah itu lalu menjadi semacam puisi tragis: indah dipandang, menyimpan makna filosofis, tapi tak bisa dipakai beli bensin ketinting atau bayar sinyal di ujung pulau. Ia adalah gambaran dari bagaimana negara ini pandai membingkai kepulauan secara estetika, tapi kurang lihai mengeksekusinya secara ekonomika.
Hipotesa Prabowo, jika dimaknai lebih dalam, bukan sekadar kritik pada trickle-down effect, tapi juga sebuah ajakan untuk membaca Indonesia dari laut, bukan dari darat. Dari perahu, bukan dari gedung tinggi. Sebab bisa jadi, akar kegagalan pembangunan kita adalah kegagalan membaca bentuk dasar kita sendiri: gugus pulau yang tidak bisa diperlakukan seperti daratan panjang nan sambung menyambung.
Mungkin Prabowo sedang mencari cara baru untuk memajukan bangsa: bukan dengan mengejar pertumbuhan GDP yang semu, tetapi dengan merumuskan ulang standar kemajuan yang lebih manusiawi dan lebih kepulauan. Bukan negara yang hebat dalam angka, tapi negara yang sungguh-sungguh memanusiakan manusia.
Jadi, saat kita melihat uang seribu itu lagi, mungkin kita harus bertanya: sudah sejauh mana kita membangun dari sudut pandang gugus pulau, bukan dari balik meja konferensi? Atau jangan-jangan, seribu rupiah itu justru sedang menertawakan kita, karena kita masih belum paham bahwa membangun Indonesia berarti membangun dari pinggir, dari laut, dari pulau-pulau kecil yang tak pernah masuk headline.
Dan seribu rupiah, dengan segala kerendahan nilainya, mungkin lebih jujur dari sebagian besar pidato ekonomi kita.