LIRA Teriak: Komisi I Main Aman, Tenaga Kesehatan Jadi Korban Skema Busuk!

Editor: Admin

Gubernur LIRA Provinsi Maluku Utara, Said Alkatiri Foto:(Lugopost/Idham) 
LABUHA, LUGOPOST–
Sudah lebih dari 15 tahun tenaga kesehatan di RSUD Labuha tak pernah merasakan haknya atas jasa pelayanan (jaspel), meski miliaran rupiah mengalir setiap bulan dari layanan BPJS dan pasien umum. Di tengah situasi ini, kinerja Komisi I DPRD Halmahera Selatan disorot karena dinilai gagal menjalankan fungsi pengawasan.

Gubernur Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Provinsi Maluku Utara, Said Alkatiri, mendesak DPRD khususnya Komisi I untuk segera mengambil langkah konkret, bukan hanya menjadi penonton dari kisruh panjang yang jelas-jelas merugikan hak dasar tenaga kesehatan.

“Jangan tunggu tekanan publik baru gerak. Komisi I DPRD terlalu lemah. Sebab hal ink sudah terjadi sejak tahun 2010, tapi tidak ada tindakan tegas. Publik pantas bertanya: DPRD kerja untuk siapa?” tegas Said Alkatiri kepada LUGOPOST, Senin (21/7).

Menurutnya, dalih belum adanya Peraturan Kepala Daerah (Perkada) sebagai alasan tidak dibayarkannya jaspel tidak masuk akal. Regulasi nasional melalui Permenkes No. 6/2022 dan No. 3/2023 sudah sangat jelas dana JKN wajib dialokasikan untuk jasa pelayanan.

“Kalau semua tunggu Perkada, lalu buat apa ada Permenkes? DPRD harus buka mata, jangan hanya seremonial dan rapat formalitas. Mana hasilnya? Tenaga kesehatan sudah 15 tahun jadi korban, dan ini bukan lagi soal kelalaian, tapi potensi pelanggaran hak,” tegasnya lagi.

Data internal yang dihimpun LUGOPOST menunjukkan bahwa pendapatan RSUD Labuha dari BPJS melonjak drastis dari Rp1–2 miliar per bulan pada tahun 2024 sedangkan di tahun 2025 meningkat menjadi Rp3–4 miliar per bulan. Namun dalam situasi keuangan yang terus tumbuh, tidak ada sepeser pun jaspel yang sampai ke tangan para dokter, perawat, hingga tenaga PPPK.

Sejumlah nakes yang diwawancarai mengaku frustasi dan merasa dipermainkan.

“Beban kerja kami setara PNS. Tapi tidak ada jaspel, tidak ada TTP. Apa kami ini bukan manusia?” kata salah satu tenaga PPPK yang minta namanya dirahasiakan.

Sementara itu, Direktur RSUD Labuha, dr. Titin Andriyanti, tak menampik persoalan ini. Ia berdalih jaspel belum bisa dibayarkan karena belum ada Perkada sebagai payung hukum teknis.

Namun, pernyataan itu justru memperkuat indikasi lemahnya inisiatif manajemen dalam memperjuangkan hak tenaga kesehatan sekaligus membuka ruang tanya: apa saja yang selama ini dikerjakan DPRD dan manajemen rumah sakit jika penyusunan Perkada pun belum tuntas sejak 2010?

Said Alkatiri meminta kepada DPRD Halmahera Selatan tidak lagi bersikap reaktif, tetapi proaktif. Ia mendesak:

1.Pemanggilan terbuka terhadap Direktur dan Sekretaris RSUD di ruang sidang DPRD.
2.Audit menyeluruh oleh Inspektorat Daerah dan BPKP terhadap pengelolaan dana BPJS.
3.Pembukaan dokumen RBA dan laporan keuangan RSUD secara transparan kepada publik.

“Jika DPRD tetap diam, maka masyarakat berhak menduga ada kongkalikong antara legislatif dan manajemen rumah sakit. Jangan jadikan RSUD Labuha sebagai ladang basah yang dibiarkan tanpa pengawasan,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menyebut Komisi I DPRD harus berhenti bersikap seperti "pemadam kebakaran" yang hanya muncul ketika ada tekanan media dan masyarakat.

“Kami dari LIRA akan kawal ini sampai tuntas. Kalau perlu, kami minta Kementerian Kesehatan dan aparat penegak hukum turun langsung ke Labuha,” pungkasnya.

Jika krisis ini dibiarkan terus berlarut, bukan hanya tenaga medis yang menjadi korban ketidakadilan, tetapi juga masyarakat Halmahera Selatan yang menggantungkan harapan hidupnya pada pelayanan RSUD Labuha yang kini terjerat masalah hak dasar dan krisis kepercayaan publik. (Id/Tim)


Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com