
Foto istimewa
LABUHA, LUGOPOST– Aktivitas pertambangan PT. Intim Mining Sentosa (IMS) di Pulau Obi, Halmahera Selatan, kembali menuai sorotan tajam. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) mencatat, perusahaan ini belum memiliki Izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (IPPKH) dan belum menempatkan Jaminan Reklamasi serta Pasca Tambang.

Temuan ini tercantum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (LHP-TT) atas Pengelolaan Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara yang diterbitkan pada Mei 2024. Pemeriksaan dilakukan di sejumlah provinsi, termasuk Maluku Utara.
Diduga Serobot Kawasan Hutan
PT. IMS tercatat beroperasi di kawasan belakang hutan Desa Bobo, Kecamatan Obi Selatan. Dalam visualisasi satelit planet.com yang dianalisis BPK, kawasan tambang terlihat telah menyapu bersih area hijau, tanpa menyisakan ruang bukan tambang.
“Hasil dari visualisasi citra satelit planet.com tidak ada area bukan tambang (masih hijau),” kutip BPK dalam LHP Nomor 13/LHP/XVII/05/2024 halaman 119.
Dalam dokumen perusahaan sendiri, lokasi tambang berada dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas. Peta AMDAL PT. IMS mencatat blok IUP seluas 3.185 hektare yang tumpang tindih dengan kawasan lindung di RTRW Kabupaten Halmahera Selatan.
AMDAL Kadaluarsa 14 Tahun
Perusahaan tercatat masih mengacu pada dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang diterbitkan pada tahun 2011. Dokumen tersebut telah melewati masa berlaku yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan, dan hingga kini belum diperbarui. Saat dokumen itu diterbitkan, izin lingkungan masih atas nama pemilik sebelumnya, Sarka Elajou.
“Memang benar, AMDAL yang kami pakai adalah dokumen tahun 2011,” ungkap External Relation PT IMS, Iswan, saat diwawancarai Lugopost, Jumat (4/7/2025).
Padahal, sesuai PP No. 22 Tahun 2021, AMDAL harus diperbarui bila terjadi perubahan struktur kepemilikan, lokasi kegiatan, maupun skala operasional. Penggunaan dokumen usang membuat kegiatan tambang terancam kehilangan dasar hukum lingkungan.
Klaim Hanya Mobilisasi Bor
Iswan juga mengakui keberadaan alat berat di lokasi, namun berdalih hanya untuk mengangkut peralatan bor.
“Kami belum melakukan pembebasan lahan. Alat berat hanya untuk mobilisasi bor,” katanya.
Lebih jauh, ia menyebut perusahaan tidak lagi melakukan uji publik terhadap warga sekitar karena merasa hal itu sudah dilakukan pemilik lama.
“Kami anggap cukup karena dulu sudah dilakukan oleh Pak Sarka,” ujarnya.
Pernyataan tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 49–50 PP 22/2021 yang menekankan partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL, terlebih saat terjadi perubahan kepemilikan atau kegiatan.
Direktur IMS Bungkam
Hingga berita ini diterbitkan, Direktur Utama PT. IMS, Yohanis Pangky Halim, belum memberikan keterangan resmi terkait temuan BPK dan operasional perusahaannya di Pulau Obi. Redaksi Lugopost masih berupaya mengonfirmasi pihak manajemen dan instansi pemerintah terkait.
Catatan Redaksi
Dokumen peta AMDAL PT. IMS menunjukkan lokasi izin berada di zona kawasan lindung dan budidaya tumpang tindih. Dengan belum dimilikinya IPPKH dan tidak adanya jaminan lingkungan, kegiatan tambang berisiko melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 serta PP 96/2021 tentang Pertambangan Minerba. Diperlukan langkah tegas dari pemerintah untuk menertibkan pelanggaran ini sebelum berdampak lebih luas. (Red/Tim)