![]() |
foto istimewah |
Hudan Irsyadi
(Pengajar di Antropologi Sosial FIB Unkhair, dan Penggiat di SiDeGo)
Di negeriku yang didirikan pejuang religius, Kini dikuasai pejabat rakus, Kejahatan bukan kelas maling sawit melainkan permainan lahan duit (Taufik Ismail)
Tulisan ini terinspirasi dari sebuah puisi karya Sastrawan Indonesia, Taufik Ismail yang berjudul ”Malu Aku Jadi Orang Indonesia”. Untuk mempersempit konteksnya, saya ingin menyebut “Malu Menjadi Orang Maluku Utara”. Konotasi ini tidak lain dari banyaknya promblematika yang terjadi di wilayah penghasil rempah-rempah ini. Ketimpangan sosial akibat kemiskinan, kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan, kasus korupsi akibat kerusakan moral, dan seterusnya.
Maluku Utara hari ini adalah bagian dari sejarah masa lalu yang sering kita “besar-besarkan ceritanya”. Pada aras ini, saya ingin mengajak pembaca untuk bernostalgia dengan nama Maluku Utara semasa kejayaannya dahulu, yakni Moloku Kie Raha. Nama ini mempunyai konotasi satu kesatuan yang di dalamnya terdapat empat kerajaan (Islam) besar, yakni Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo, yang kemudian merajut kebersamaan atas nama negeri miliku. Konfederasi Moti (1322) menjadi saksi sejarah atas nama besar Moloku Kie Raha yang para sultannya banyak “menguasai atau menaklukkan” wilayah di nusantara, bahkan sampai ke luar nusantara. Romantisme masa lalu yang masih tertancap kuat, mengakar dan selalu berayun dalam ingatan. Kita seakan dibawa ke alam bawah sadar tanpa menyadari potensi yang kita miliki saat ini. Sejarah masa lalu masih tetap sama namun berbeda konteksnya. Bisa dibilang, “dahulu rempah sekarang tambang”.
Lalu bagaimana dengan Maluku Utara hari ini dan akan datang? sebagai warga Maluku Utara tentu mengharapkan perubahan-perubahan signifikan yang tidak hanya menyentuh pada aspek fisik tetapi juga aspek non fisik. Masyarakat tidak lagi menjadi objek pembangunan tetapi harus diposisikan sebagai subjek dalam pembangunan. Kolaborasi atau keterlibatan masyarakat dalam pembangunan perlu ditingkatkan lagi sehingga melahirkan suatu modal pembangunan yang kuat. Artinya pembangunan tidak hanya dilihat secara fisik tetapi harus dilihat dari sudut manusianya. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang selama ini menjadi indikator dalam melihat keberhasilan pembangunan di daerah (baca; Maluku Utara) seolah tak sebanding dengan kehidupan sosial masyarakatnya. Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang pernah dipuji Presiden Jokowi ternyata berbanding terbalik dengan kehidupan sosial masyarakat tempatan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi tidak mendatangkan kesejahteraan. Masih banyak masyarakat Maluku Utara yang hidup dibawah garis kemiskinan dan akses terhadap layanan kesehatan pun belum begitu baik. Banyak keluhan masyarakat terkait sistem pelayanan kesehatan di daerah atas ketersediaan sarana maupun fasilitas kesehatan yang tidak memadai. Olehnya itu, arah untuk menuju suatu pemerintahan yang baik, yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah provinsi Maluku Utara saat ini masih jauh panggang dari api.
Saat ini kita sedang berada dalam momentum pemilihan kepala daerah serentak yang tak lama lagi akan dihelat. Pemilihan gubernur maupun bupati dan walikota akan digulirkan secara bersama. Tercatat sepuluh daerah kabupaten/kota ditambah satu pemilihan di tingkat provinsi, akan menjadi ajang kontestasi para putra-putri terbaik Maluku Utara. Sebagai warga Maluku Utara, tentu kita akan menunggu hasil akhir dari para kontestan yang berebut kursi satu di masing-masing wilayahnya. Namun yang menarik adalah kursi satu menuju puncak Gosale (sebutan untuk nama tempat kantor gubernur Maluku Utara). Sekadar mengingatkan kembali bahwa ibukota provinsi Maluku Utara adalah sebuah kelurahan, yakni Sofifi yang terletak di kecamatan Oba Utara Kota Tidore Kepulauan. Jika ditelisik, hal ini mungkin satu-satunya ibukota di Indonesia dengan status kelurahan. Uniknya, status ini mempunyai nilai pembeda dari banyaknya status ibukota suatu daerah provinsi di Indonesia.
25 Tahun Provinsiku
Tanggal 12 Oktober adalah tanggal yang sakral bagi masyarakat Maluku Utara. Dimana pada tanggal tersebut merupakan hari jadi Provinsi Maluku Utara yang dimekarkan sejak tahun 1999 silam. Perjuangan panjang yang melelahkan guna melepaskan diri dari bayang-bayang provinsi induknya, Maluku pun terjawab. Sejak saat itu, Maluku Utara terus berbenah. Pelbagai sarana dan fasilitas pembangunan diadakan. Infrastruktur dasar berupa air, jalan, jembatan dan listrik berangsur-angsur dinikmati masyarakatnya, meskipun sebagian belum sepenuhnya menikmati. 12 Oktober besok, Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan para undangannya akan merayakan hari ulang tahun provinsi yang ke-25 tahun. Usia tersebut boleh dibilang berada pada tingkat kematangan, namun tak dapat dipungkiri diusia tersebut masih banyak pula persoalan di daerah yang belum terselesaikan dengan baik.
Provinsi Maluku Utara dalam perkembangannya terdapat sepuluh Kabupaten dan Kota yang masing-masing mempunyai hak otonom guna mengagregasi pembangunan di daerah. Lalu ada apa dengan Maluku Utara sehingga saya ingin mendiskusikannya? Gugusan pulau-pulau yang membentang luas, dari Pulau Morotai sampai dengan Taliabu menawarkan begitu banyak pesona atas keberlimpahan sumber daya. Baik itu berupa alam (darat maupun laut), budaya, sejarah, flora dan fauna, serta karakteristik masyarakatnya. Namun untuk memahami Maluku Utara, tentu kita harus mengenal penduduk yang tersebar di sepuluh kabupaten/kota dengan keberagaman dan pranata sosial kemasyarakatannya. Sejauh ini, kategorisasi penduduk di Maluku Utara merupakan penduduk yang heterogen. Sebanyak 34 sukubangsa asli (gam madihutu) dan pendatang (dai’ isa) tersebar di sepuluh kabupaten/kota yang telah lama hidup berdampingan.
Data BPS Maluku Utara 2024 mencatat jumlah penduduk di Provinsi Maluku Utara sebanyak 1.374.850 jiwa, dengan representasi pada sepuluh kabupaten/kota. Olehnya itu, pembangunan disuatu daerah selayaknya turut memperhatikan jumlah penduduk di daerah itu. Heterogenitas penduduk Maluku Utara mencerminkan keterbukaan dan keberterimaan masyarakatnya. Memang, membangun Maluku Utara tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebagai provinsi yang berciri kepulauan, yang di dalamnya terdapat lembaga adat (kesultanan maupun kelompok-kelompok kecil lainnya) tentu bukan hal yang mudah. Terkait dengan kepulauan, Maluku Utara sudah disejajarkan dengan provinsi kepulauan lainnya di Indonesia (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur), meskipun secara perundang-undangan belum ditetapkan oleh pemerintah pusat. Setidaknya jika RUU Kepulauan ini sudah disahkan, sehingga menjadi sebuah perundang-undangan, maka tentunya akan berimplikasi terhadap pengalokasian penganggaran di daerah kepulauan. Olehnya itu kita berharap para penyambung lidah di senayan (DPD-RI dan DPR/MPR-RI perwakilan Maluku Utara dan provinsi kepulauan lainnya) dapat memberikan “tekanan” yang nyata selama periodesasi masa jabatannya dan bukan lagi angin segar. Tak cukup sampai disitu, diharapkan pula para senator senayan (khusus DPD-RI dan DPR/MPR-RI perwakilan Maluku Utara) untuk dapat berkolaborasi dengan gubernur yang baru, senator daerah maupun pihak terkait guna mendorong status ibukota provinsi Maluku Utara. Marilah untuk kita melihat negeri ini. Perayaan hari ulang tahun provinsi yang telah memasuki usia emas (25 tahun), jangan lagi terkungkung dengan persoalan-persoalan kedisiplinan pegawai. Jangan lagi membahas acara-acara seremoni lainnya. Tersebat, acara seremoni semacam hari ulang tahun suatu daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah terkadang meninggalkan ironi.
Sumber Daya Kepulauan
Maluku Utara adalah suatu daerah yang mempunyai karakteristik kepulauan. Sebanyak ±1.474 pulau dengan rincian jumlah pulau yang dihuni sebanyak 89 pulau, dan yang tidak berpenghuni sebanyak 1.385 pulau. Pulau terbesarnya adalah Halmahera yang mempunyai potensi yang cukup besar. Pulau yang sudah dikelilingi oleh industri pertambangan ini, lambat laun akan menyisakkan pilu. Sejatinya, jika kita sedikit menyadari bahwa sumber daya Maluku Utara tidak melulu berfokus pada pertambangan, tetapi bagaimana menggali potensi yang dimiliki oleh pulau-pulau guna mendorong pembangunan kepariwisataannya. Pulau Dodola, Pawole, Nusara, Pogo-Pogo dan masih banyak lagi pulau eksotis di Maluku Utara yang belum terekspos dalam pengembangan kepariwisataan.
Sumber daya kepulauan lainnya berada di sektor pertanian. Sumber daya pada bagian ini telah mencatatkan rempah-rempah berupa cengkih dan pala sebagai penyumbang terbesar di Indonesia. Di samping itu, terdapat perkebunan kelapa yang selalu menjaga asa para petani. Di sini, Halmahera sebagai pulau terbesar mempunyai andil terhadap banyaknya perkebunan kelapa itu. Potensi pertanian lainnya di Maluku Utara terdapat pada tanaman kakao (coklat) dan jambu mete. Pada titik ini, Maluku Utara sebelum adanya industri petambangan; pertanian, perkebunan dan perikanan menjadi modal dalam pembangunan ekonomi masyarakatnya.
Khusus untuk perikanan, Maluku Utara mempunyai potensi perikanan tangkap yang cukup memadai. Banyaknya jenis ikan berupa ikan tuna, cakalang dan tongkol, mengindikasikan sebuah daerah yang kaya akan sumber daya laut. Belum lagi dengan jenis ikan kerapu, lobster maupun kerang laut yang punya nilai tawar yang cukup tinggi di pasar global. Pada titk ini, sudah saatnya kita kembali menata bahwa dahulu, wilayah ini penah dibangun sebuah unit usaha bernama PT Usaha Mina yang bergerak pada usaha penangkapan ikan di laut. Sejarah pernah mencatat bahwa orang Maluku Utara adalah orang-orang yang tangguh di laut. Maka diusia 25 tahun, sudah saatnya kita harus bangkit dan selamatkan negeri ini dari manusia-manusia yang tidak pernah rasa memiliki serta mencintai negeri dan rakyatnya. Perilaku tak terpuji dan tak bermoral jangan lagi mencoreng wajah Maluku Utara di tahun-tahun mendatang. Karena dengan begitu, kita pun tidak Malu menjadi orang Maluku Utara. semoga!!