LABUHA, Maluku Utara – Mantan anggota DPRD Kabupaten Halmahera Selatan, Nikolas Kurama, menyoroti dugaan permasalahan dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT Intim Mining Sentosa (IMS). Ia menegaskan bahwa perusahaan tambang tersebut belum memperbarui AMDAL sejak 2011, tetapi sudah melakukan eksplorasi dengan alat berat yang berpotensi merusak lingkungan dan eosistem sekitar.
"Kalau mereka bilang sampelnya hilang, itu hanya alasan yang dibuat-buat. Dokumen perusahaan yang begitu penting, masa bisa hilang begitu saja?" tanya Nikolas pada Selasa (18/2/2025).
Pria kelahiran Obi Bobo itu menjelaskan bahwa dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) lintas komisi, Dinas Lingkungan Hidup mengindikasikan bahwa AMDAL PT IMS belum diperbarui dan izin lingkungan pun belum ada. Meski demikian, perusahaan sudah memulai aktivitas eksplorasi.
Nikolas juga menyoroti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang dalam Pasal 42 mengatur bahwa izin eksplorasi pertambangan mineral logam berlaku maksimal delapan tahun. Oleh karena itu, menurutnya, jika PT IMS baru memulai eksplorasi sekarang, seharusnya mereka terlebih dahulu memperbarui AMDAL dan menyelesaikan izin lingkungan sebelum beroperasi.
Warga Desa Bobo Tolak Kehadiran PT IMS
Selain dugaan masalah AMDAL, masyarakat Desa Bobo dengan tegas menolak kehadiran PT IMS karena khawatir terhadap dampak lingkungan dan ekosistem desa mereka.
Penolakan ini juga mendapat dukungan dari Gereja Protestan Maluku (GPM), yang diwakili oleh Pdt. M.N. Pattipeiluhu, pendeta Jemaat GPM Bobo, serta Sekretaris Klasis Pulau-Pulau Obi, Pdt. Yermias Pureng.
"Kami dengan tegas menolak kehadiran PT IMS. Bahkan, kami menolak semua perusahaan tambang yang ingin beroperasi di Desa Bobo," tegas Pdt. Pattipeiluhu.
Senada dengan itu, Pdt. Imanuel Colling, putra asli Desa Bobo, menyatakan bahwa masyarakat desa telah menolak keberadaan tambang sejak 2011, terutama dalam konsultasi publik terkait AMDAL PT IMS.
"Sekarang mereka mengklaim memiliki AMDAL, saya bingung dari mana munculnya dan atas dasar apa mereka bisa mendapatkannya?" ujarnya.
Sementara itu, Yaret Colling mengungkapkan bahwa dalam rapat AMDAL tahun 2011, masyarakat sudah menyampaikan keberatan mereka. Jika tetap dipaksakan beroperasi, masyarakat meminta kompensasi yang sulit dipenuhi oleh perusahaan. Hal ini semakin memperjelas bahwa warga tetap menolak keberadaan PT IMS di Desa Bobo.
Dengan berbagai penolakan dan dugaan permasalahan dalam Amdal, masyarakat Desa Bobo mendesak pemerintah agar segera bertindak tegas. Mereka berharap lingkungan desa tetap terjaga dan tidak terdampak aktivitas tambang yang berpotensi merusak alam. (Idham)