![]() |
Foto istimewa |
Pengakuan ini disampaikan langsung oleh External Relation PT IMS, Iswan. Ia menyebut bahwa dokumen AMDAL tersebut ditandatangani oleh mantan Bupati Halmahera Selatan, Muhammad Kasuba, ketika perusahaan masih dimiliki oleh pemilik pertama, yakni Sarka Elajou.
“Memang benar, amdal yang kami pakai adalah dokumen tahun 2011. Saat itu ditandatangani oleh mantan Bupati Muhammad Kasuba," ungkap Iswan.
AMDAL Lama Tidak Lagi Berlaku: Ini Dasar Hukumnya
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dokumen AMDAL memiliki batas waktu relevansi tertentu. Setiap perubahan signifikan dalam struktur kepemilikan, lokasi kegiatan, teknologi, atau skala operasi wajib dilakukan peninjauan kembali atau pembaruan dokumen lingkungan. Dalam hal ini, jika dokumen AMDAL tidak diperbaharui, maka kegiatan pertambangan dinilai tidak memiliki dasar legal lingkungan yang sah.
Bahkan dalam ketentuan perizinan tambang yang diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta turunan PP 96/2021, setiap perusahaan tambang yang melanjutkan aktivitas tanpa memperbarui izin lingkungan dapat dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran hingga pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Kronologi Kepemilikan Izin yang Berpindah Tangan
Lebih jauh, Iswan menjelaskan bahwa PT IMS saat ini merupakan pihak ketiga yang mengelola IUP, setelah dua pihak sebelumnya gagal menjalankan operasional.
“Dulu izin ini dipegang oleh Pak Sarka Elajou. Beliau sudah meningkatkan status IUP dari eksplorasi ke tahap operasi produksi, tapi terkendala modal. Akhirnya izin itu dijual ke pihak kedua, lalu berpindah ke kami," katanya.
Meski mengklaim belum melakukan pembebasan lahan, Iswan mengakui keberadaan alat berat ekskavator di lokasi. Ia berdalih bahwa alat tersebut digunakan hanya untuk memobilisasi peralatan bor, bukan untuk aktivitas tambang atau eksploitasi mineral.
Minim Sosialisasi, Uji Publik Dianggap Cukup dari Pemilik Lama
Ironisnya, pihak PT IMS juga menyebut bahwa mereka tidak lagi melakukan uji publik kepada masyarakat karena merasa hal tersebut telah dilakukan oleh pemilik lama, yakni Pak Sarka.
"Kami tidak lagi uji publik karena pemilik pertama sudah melakukannya, dan saat itu tidak ada masalah," ujarnya.
Pernyataan ini dinilai mencederai prinsip transparansi dan partisipasi masyarakat sebagaimana diatur dalam PP 22/2021 Pasal 49–50, yang menyatakan bahwa proses AMDAL harus melibatkan masyarakat terdampak, khususnya jika terjadi perubahan kepemilikan atau bentuk kegiatan.
Warga Protes, Dicurigai Bangun Pabrik seperti PT Harita
Di awal kegiatan, keberadaan PT IMS sempat memicu protes dari warga Desa Bobo. Mereka khawatir perusahaan akan membangun pabrik pengolahan seperti yang dilakukan oleh PT Harita Group, yang selama ini dikritik karena dampak lingkungannya.
Menanggapi itu, Iswan menegaskan:
"PT IMS hanya mengambil material dan membawanya keluar. Kami tidak membangun pabrik seperti Harita. Masyarakat hanya salah paham."
Catatan Redaksi: Sengketa Tak Hanya Soal Modal
Dari penelusuran Lugopost, alasan utama kegiatan tambang ini stagnan sejak lama bukan semata karena kendala modal, tetapi lebih pada persoalan tidak tuntasnya administrasi lingkungan dan lemahnya komitmen sosial perusahaan. Perusahaan tampak mengabaikan kewajiban untuk memperbarui dokumen perizinan sesuai dinamika kepemilikan dan struktur manajemen.
Tuntutan Evaluasi dan Tindakan Tegas
Penggunaan dokumen AMDAL yang sudah kedaluwarsa dan berpindah-pindahnya pengelolaan IUP tanpa pembaruan resmi menjadi sinyal kuat untuk dilakukan evaluasi menyeluruh. Pemerintah daerah maupun Kementerian ESDM dan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) harus segera turun tangan untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran hukum oleh PT IMS.
Jika terbukti menyalahi aturan, maka langkah tegas berupa penghentian sementara aktivitas hingga pencabutan izin patut dijatuhkan sebagai bentuk penegakan hukum dan perlindungan terhadap lingkungan serta masyarakat lokal. (Red/Tim)