![]() |
Puncak kemarahan warga meledak pada Kamis, 26 Juni 2025. Lido Gahunting, seorang pemilik lahan di Desa Bobo, berdiri di depan alat berat yang sedang menggusur tanah miliknya.
“Tidak ada kesepakatan. Tidak ada pelepasan lahan. Tiba-tiba alat berat beroperasi. Ini bentuk penjajahan atas hak warga!” teriak Lido lantang, aksi yang terekam jelas oleh kamera warga dan kini viral di media sosial.
Kemarahan warga tak berhenti pada persoalan lahan. Nikolas Kurama, tokoh pemuda Obi Selatan, membongkar bahwa PT IMS masih menggunakan dokumen AMDAL tahun 2011 yang sudah kadaluarsa.
“Tidak ada adendum, tidak ada izin lingkungan baru. Mereka gali bumi Obi dengan dokumen basi. Ini pelanggaran terang-terangan!” tegas Nikolas.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), masa berlaku izin eksplorasi maksimal hanya 7 tahun. Jika izin tersebut sudah lewat tanpa diperpanjang secara sah, maka seluruh kegiatan pertambangan dinyatakan ilegal. Lebih parah lagi, Pasal 65 menegaskan bahwa seluruh persyaratan administratif, teknis, dan lingkungan wajib dipenuhi sebelum operasi dijalankan.
“Kalau dokumen tidak lengkap dan perusahaan tetap beroperasi, itu bukan tambang. Itu kejahatan. Itu ilegal!” seru Nikolas dengan nada geram.
Warga menilai PT IMS telah memanfaatkan pembiaran oleh aparat penegak hukum dan ketidaktegasan pemerintah daerah untuk terus melanjutkan operasi eksplorasi. Akibatnya, kerusakan lingkungan di sekitar Desa Bobo dan Fluk kian parah. Sumber mata air tercemar, kawasan hutan rusak parah, dan keresahan warga meningkat.
“Ini bukan sekadar konflik lahan. Ini soal kejahatan lingkungan yang mengancam masa depan kami. Di mana suara DPRD? Di mana pengawasan dari pemerintah kabupaten dan provinsi? Atau mereka semua sudah dibungkam?” tanya Nikolas tajam.
Tim Lugopost.id telah menghubungi pihak PT IMS untuk meminta klarifikasi terkait dugaan penggunaan dokumen AMDAL kadaluarsa, serta dasar legal operasi yang mereka jalankan. Namun, tanggapan dari pihak External Relation PT IMS, Iswan, justru menunjukkan sikap menghindar.
“Sebentar, kalau sudah tidak sibuk baru saya jawab. Besok baru saya jawab pertanyaan secara menyeluruh,” ujar Iswan singkat saat dikonfirmasi, tanpa menunjukkan itikad transparansi.
Jawaban tersebut memicu spekulasi bahwa PT IMS tidak siap mempertanggungjawabkan operasi mereka secara terbuka kepada publik. Padahal, transparansi adalah kewajiban mutlak setiap pelaku usaha tambang, terutama yang operasinya menimbulkan dampak luas terhadap masyarakat dan lingkungan.
Warga Obi Selatan kini mendesak Bupati Halmahera Selatan, DPRD, hingga Kementerian ESDM untuk turun langsung ke lokasi. Mereka menuntut penyegelan aktivitas tambang, audit dokumen perizinan, dan penyelesaian konflik lahan secara adil.
“Jangan tunggu korban jiwa. Jangan tunggu bencana ekologis. Segel dulu, periksa dokumen, dan beri sanksi tegas!” pungkas Nikolas.
Redaksi LUGOPOST.id akan terus mengawal kasus ini dan menanti keseriusan pemerintah dalam melindungi warganya dari praktik pertambangan yang merusak dan diduga melanggar hukum. (Red/Tim)