![]() |
Foto istimewa |
Oleh
Ismir Lina
Penggiat literasi dan Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dalam perspektif masyarakat barat, konsep nasionalisme dan patriotisme cenderung dimaknai sebagai paham rasialisme, sehingga narasi mengenai nasionalisme selalu dipandang sinis. Namun bila ditelusuri akar sejarahnya, nampaknya mereka membentuk nasionalisme atas dasar kesamaan suku atau ras, padahal apa yang mereka anggap sebagai kesamaan ras ternyata keliru. Sebagai contoh misalnya, orang Jerman menganggap diri mereka sebagai ras “Arya”, sedangkan orang Inggris atau Amerika menganggap diri mereka sebagai ras “Anglo-Saxon”.
Meskipun, Hannah Arendt dalam bukunya bertajuk “Imperialism: Part Two of The Origins of Totalitarianism”, mencoba membedakan nasionalisme Barat dengan nasionalisme “Tribal”. Arendt mengatakan bahwa Nasionalisme Barat adalah negara-bangsa yang mengklaim mewakili masyarakat dan kedaulatan nasional sebagai akibat dari perkembangan yang dimulai dengan Revolusi Perancis pada abad ke-19. Bentuk nasionalisme ini merupakan gabungan dari dua faktor yang harus dipisahkan, yaitu bangsa dan negara. Perpaduan negara dan kebangsaan berangkat dari penegasan kedaulatan rakyat pada Revolusi Perancis. Sehingga Arendt menyebut Prancis sebagai definisi sebenarnya dari sebuah bangsa.
Konsep “bangsa” yang muncul dari Revolusi Perancis (1789) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, didasarkan pada kedaulatan rakyat dan persetujuan aktif terhadap pemerintah (le plébiscite de tous les jours) serta mengandaikan adanya suatu kesatuan organisasi nasional yang berdaulat. Kedua, bangsa mulai mencatat sejarah dan memperoleh emansipasi ketika masyarakat mencapai kesadaran akan dirinya sebagai satu kesatuan budaya, sejarah dan wilayah.
Sedangkan, nasionalisme “Tribal” bermula dari perluasan kesadaran akan kesukuan dengan komitmen untuk mempersatukan seluruh umat manusia yang mempunyai darah atau asal usul spiritual (agama) yang sama untuk menandai pembedaan “bangsa” di atas segalanya. Dalam nasionalisme Barat, masyarakat mencapai kesadaran akan dirinya sebagai kesatuan budaya, sejarah dan teritorial. Sedangkan di negara-negara Eropa Timur kesadaran tersebut tidak dialami atau dicapai.
Dengan demikian, nasionalisme “Tribal” mendorong negara untuk menekan bentuk-bentuk manifestasi publik yang mengungkap perbedaan etnis-budaya, sehingga identitas nasional dan kesetaraan warga negaranya dapat terjamin. Sikap ini berarti membiarkan penindasan terhadap etnis (agama) minoritas yang berbeda. Kecenderungan menekan manifestasi publik dan perbedaan etnis-budaya ini, menurut Arendt, disebabkan oleh dua faktor sebagai berikut.
Pertama, nasionalisme negara-negara Slavia dan Jerman ditandai dengan adanya pemisahan antara kesetiaan bangsa dan negara, artinya negara tidak lagi dianggap mewakili kedaulatan rakyat, melainkan menjadi sebuah mesin birokrasi supra-nasional. Kedua, di kawasan Eropa Timur, setiap titik merupakan rumah bagi penduduk dari berbagai etnis campuran sehingga lemahnya keterwakilan dalam politik tidak dapat diimbangi dengan bentuk keterwakilan dari daerah-daerah yang penduduknya homogen. Maka sebagian besar masyarakat di Eropa Timur tidak pernah berhasil menyatu dengan tempat tinggalnya seperti bangsa-bangsa di Eropa Barat.
Namun, bila merujuk penjelasan Lothrop Stoddard, dalam bukunya yang berjudul “The Rising Tide of Color Against White World Supremacy” disebutkan bahwa, Anglo Saxon dan Arya adalah satu darah dan satu saudara. Lebih lanjut, kata Stoddard, di Eropa sebenarnya hanya ada tiga ras yaitu “nordik”, “alpine”, dan “mediterania”. Adapun ras “nordik” dicirikan oleh kulit putih, mata biru, rambut pirang, tengkorak panjang dan muka sempit. Sementara ras “alpine” berkulit hitam, tengkorak lebar dan memiliki postur tubuh tidak terlalu tinggi. Sedangkan ras “mediterania” memiliki ciri mata kecoklatan, berambut hitam dan bergelombang namun postur tubuhnya mirip dengan ras “nordik”.
Dalam penelitian Stoddard, ketiga ras tersebut bercampur satu sama lain, sehingga bukan lagi ras murni “nordik”, “alpine”, atau “mediterania”. Namun di alam bawah sadar masyarakat Barat, orang Jerman mengira mereka punya ras sendiri. Begitu pula dengan orang Inggris atau Amerika yang merasa memiliki rasnya sendiri.
Sehingga ketika pecah Perang Dunia I dan II, mereka menganggapnya sebagai perang antar ras. Padahal perang tersebut merupakan perang antara saudara sedarah dan seketurunan. Meskipun Hitler, pada saat Perang Dunia II mengaku sebagai ras Arya dari pax Germania. Sedangkan Inggris merupakan ras Anglo Saxon dari Pax Britannica.
Dari sini kita bisa memahami mengapa masyarakat barat begitu fobia terhadap nasionalisme dan patriotisme. Apalagi jika titik tolaknya didorong oleh nilai-nilai ketimuran yang berasal dari peradaban Asia, Timur Tengah, dan Afrika.
Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masyarakat barat belum sepenuhnya memahami dirinya dalam merumuskan konsep nasionalisme. Sebab, dalam pandangan mereka, nasionalisme identik dengan “chauvinisme” atau “ultranasionalisme”, yaitu rasa cinta diri yang berlebihan dan prasangka rasial, disinilah problem masyarakat barat.
Sedangkan di Indonesia yang mempersatukan kita bukanlah ras, bahasa atau agama. Melainkan geopolitik, yaitu kesatuan masyarakat berdasarkan daerah asal dan tempat tinggalnya. Sebab, agama dan adat istiadat merupakan “daya hidup” maupun “daya gerak” persenyawaan manusia dan daerahnya.
Dengan kata lain, agama secara otomatis berpadu dengan nasionalisme. Dalam hal ini, Islam dan nasionalisme merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Seperti dikatakan Bung Karno, seorang nasionalis tentulah religius. Sebaliknya, orang yang beragama sudah pasti nasionalis, namun nasionalisme tanpa keadilan sosial adalah nihilisme.