Proyek Subaim 517 hektare diawasi ketat agar tak ulangi kerusakan.
![]() |
| Foto istimewa |
Menurutnya, pengalaman panjang hilirisasi nikel sejak pemerintahan Jokowi hingga kini dilanjutkan pemerintahan Prabowo telah menjadikan Halmahera Timur sebagai arena pertarungan modal besar, bukan ruang aman bagi masyarakat untuk hidup.
“Investasi datang besar-besaran, tetapi yang mengalir deras justru penderitaan rakyat dan kerusakan ekologi. Jangan ada lagi pembangunan yang mengorbankan masyarakat lokal,” tegas Direktur Hatam Malut, Alfatih Soleman kepada media ini, Sabtu (5/12/25).
Jejak Luka dari Perusahaan Tambang Sebelumnya.
HATAM juga menyoroti sederet perusahaan yang telah lebih dulu beroperasi PT Position, PT Wana Kencana Mineral (WKM), PT Nusa Karya Arindo (NKA), hingga PT Weda Bay Nickel (WBN) yang beroperasi dengan konsesi saling berdempetan dan tumpang tindih.
Pola semacam itu meninggalkan kerusakan nyata diantaranya:
• sungai-sungai tercemar,
•hutan adat digunduli,
• tanah leluhur suku O’Hongana Manyawa (Tobelo Dalam) terampas.
Komunitas adat pun terpaksa bertahan di tengah ancaman kehilangan ruang hidup akibat ekspansi industri yang terus membesar.
Warning Tegas untuk PT BAM dan Jajaran Subkon
Melihat rekam jejak buruk itu, HATAM memberi warning tegas kepada PT BAM beserta seluruh sub kontraktornya PT PJS, PT UTS, PT SCB, PT MSUI, dan PT SMT agar tidak hanya mengandalkan persetujuan di dokumen AMDAL. Mereka diminta menjalankan dengan serius kewajiban terhadap masyarakat setempat, terutama terkait keselamatan lingkungan, dampak sosial, dan pemantauan operasi.
“Jangan cuma menuntaskan urusan di atas kertas. Kami akan awasi setiap proses pembangunan kawasan industri ini. Tidak boleh ada satu pun pelanggaran yang mengancam masyarakat Subaim dan Halmahera Timur,” tegas Alfatih.
HATAM menegaskan bahwa pengawasan akan dilakukan secara spesifik, ketat, dan berkelanjutan demi memastikan proyek tersebut tidak berubah menjadi babak baru kerusakan dan penderitaan di wilayah itu. (*)
Editor |Idham Hasan
