15 Tahun Tanpa Jaspel: Nakes RSUD Labuha Korban Kelalaian Manajemen?

Editor: Admin

Rumah Sakit Umum Daerah Labuha Foto: (Lugopost.Id/Idham) 
LABUHA, LUGOPOST Di tengah mengalirnya pendapatan miliaran rupiah dari layanan BPJS dan pasien umum, dugaan pengabaian hak tenaga kesehatan kembali mengguncang RSUD Labuha. Selama lebih dari 15 tahun, tenaga medis di rumah sakit milik Pemkab Halmahera Selatan ini mengaku tidak pernah menerima jasa pelayanan (jaspel), meskipun dasar hukum untuk pembayarannya sudah diatur jelas oleh Kementerian Kesehatan.

Data internal yang dihimpun LUGOPOST menunjukkan, pada tahun 2024 RSUD Labuha mencatat pendapatan dari layanan BPJS sebesar Rp1–2 miliar per bulan, dan naik drastis pada 2025 menjadi Rp3–4 miliar per bulan. Jumlah ini belum termasuk pendapatan dari pasien umum yang juga rutin menyumbang keuangan rumah sakit.

Namun ironi terjadi. Di tengah anggaran yang terus meningkat, tenaga medis justru tidak pernah merasakan imbalan dari jaspel, yang sejatinya menjadi hak mereka.

“Bayangkan, dari tahun 2010 sampai sekarang, kami tidak pernah terima jaspel. Padahal Permenkes jelas menyebut itu hak kami,” ujar seorang nakes yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Permasalahan jaspel seharusnya tidak menjadi perdebatan, karena regulasinya sudah terang:

Permenkes No. 6 Tahun 2022: Dana kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) wajib dialokasikan untuk jasa pelayanan dan biaya operasional fasilitas kesehatan pemerintah. 

Permenkes No. 3 Tahun 2023: Menetapkan standar tarif pelayanan kesehatan sebagai dasar pembagian hak kepada tenaga kesehatan.

“Kami tenaga PPPK pun tidak pernah terima jaspel. TTP juga tidak ada. Padahal beban kerja sama seperti PNS. Hak-hak dasar kami diabaikan,” ujar tenaga medis lain di internal RSUD Labuha yang meminta identitasnya di rahasiakan

Hal ini menimbulkan dugaan kuat bahwa pengelolaan dana JKN di RSUD Labuha tidak transparan, bahkan berpotensi menyimpang dari ketentuan yang berlaku.

Sorotan kini mengarah kepada Direktur RSUD, dr. Titin Andriyanti, dan Sekretaris RSUD, La Ode Emi, yang oleh sejumlah pihak internal disebut memegang kendali penuh atas seluruh kebijakan rumah sakit, bahkan kadang disebut bahwa sekretaris lebih dominan dari direktur.

“Komisi I DPRD Halmahera Selatan harus segera panggil direktur dan sekretaris RSUD. Ini soal keadilan tenaga kesehatan yang sudah diabaikan sejak 2010. Publik berhak tahu ke mana perginya dana BPJS,”ujar seorang aktivis kesehatan lokal.

Masyarakat sipil dan pengamat anggaran daerah juga menilai bahwa minimnya keterbukaan informasi di RSUD menciptakan ruang gelap dalam pengelolaan anggaran publik.

Dikonfirmasi LUGOPOST, Direktur RSUD Labuha, dr. Titin Andriyanti, tidak menampik bahwa jaspel memang belum dibayarkan, dan mengakui bahwa pembahasannya sudah lama berlangsung.

“Masalah jaspel itu memang sudah lama jadi pembahasan di internal. Tapi kenapa baru ribut sekarang?” ujarnya.

Ia mengklaim bahwa pembayaran jaspel tidak bisa dilakukan karena belum ada Peraturan Kepala Daerah (Perkada) sebagai dasar hukum teknis di level daerah.

“Membayar jaspel tidak semudah itu. Harus ada perkada. Sekarang kami sedang siapkan. Mengelola uang BLUD itu harus hati-hati, sama seperti DAU. Harus ada dasar hukumnya,” katanya.

Ia juga menyebut bahwa sebagai pimpinan yang baru ditugaskan, ia masih dalam masa penyesuaian.

“Setiap orang perlu waktu untuk belajar. Ada yang cepat, ada yang lambat. Contohnya saya,” ucap dr. Titin.

Terkait dana BPJS yang masuk tiap bulan, ia menjelaskan bahwa semuanya dimasukkan dalam Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) karena status RSUD Labuha sudah BLUD. Ia menyebut ada fleksibilitas penggunaan dana, terutama untuk keperluan operasional yang mendesak.

“Masalah jaspel dari dana BPJS tetap harus mendapat persetujuan dari bupati. Berapa persen yang bisa dialokasikan, itu yang jadi pedoman,” pungkasnya. (Red/Tim)  

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com