Oleh
DR. MUKHTAR A. ADAM.,M.Si
Akademisi Universitas Khairun Ternate
Makian, Kie Mara, Taba, Waikyowon atau sebutan lain yang menggambarkan pulau di selatan dari 4 (empat) pulau tertata di perairan Maluku disebut Kie Raha adalah gugusan pulau utama di kawasan kepulauan Maluku oleh masyarakat local menyebut dengan Kie Ma Fato-fato, Kie Mara Ma Sarabi, menjadi simbol terdepan deretan pulau di wilayah Maluku atau sebutan lain dari Moloku Kie Raha menempatkan kie mara ma sarabi sebagai satu kesatuan bangunan utuh dalam tradisi Moloku Kie Raha.
Kie Raha gambaran 4 (empat) pulau utama wilayah pemukiman, pusat budaya, ekonomi dan sosial di masa keemasan komoditi cengkeh, telah memperkenalkan ke pasar global sebagai kepulauan rempah yang memaksa bangsa eropa mengelilingi dunia, merebut kuasa ekonomi global dari interaksi pasar antar negara di berbagai belahan dunia, dari wilayah gugusan kepulauan yang disebut Moloku Kie Raha.
Kie Marah (Gunung Kie Besi) mencatatkan siklus amarah gunung berapa dari letusan setiap 100 tahun, dentuman dahsyat gunung berapi sebagai wujud amarah alam pada tata kelola dan pemanfaatan tak ramah lingkungan, menjadi pesan bagi pemegang Amanah (khalifah) atas alam semesta telah menjadi modal social (Sosial Capital) bagi proses interaksi manusia dengan mahluk lain ciptaanNya dalam satu kesatuan kesemestaan.
Letusan Gunung Kie Besi memiliki siklus konsisten dalam catatan letusan tidak ditemukan bencana yang mengakibatkan angka kematian yang signifikan jika di bandingkan letusan gunung berapa di wilayah lain, keyakinan akan letusan gunung kie besi sebagai isyarat pengendalian lingkungan, membuat Masyarakat di pulau ini memiliki ketabahan bermukim di pulau kecil walau selalu dihantui ancaman letusan gunung berapi, telah memunculkan sebut “Taba” atau “Tabah” adalah kegigihan warganya dalam menjalankan kehidupan dengan ancaman bencana yang datang silih berganti namun tak membuat warganya bermigrasi secara ekstrim.
Masyarakat yang bermukim di Pulau Makian berdasarkan catatan statistik periode 1950an hingga awal 1970an mencatatkan angka kelahiran tertinggi di Kawasan kepulauan Maluku dan menempatkan Pulau Makian dengan Tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia, memunculkan budaya migrasi baru yang bergeser ke pulau-pulau kecil di Kawasan ini dan membentuk pemukiman baru seperti Kayoa, Leley, Kasiruta dan pulau-pulau kecil disekitarnya, bahkan makin meluas ke pulau Halmahera, Ternate, Moti, dan berbagai pulau di wilayah Maluku Utara sebagai pemukiman baru.
Migrasi penduduk Makian ke pulau-pulau kecil di sekitar wilayah perairan Maluku telah membentuk gugus pulau yang dikenal dengan Makayoa sebuah hamparan gugus pulau besar dan kecil sebanyak 18 pulau, terdapat 11 pulau dihuni dan 7 pulau produksi menjadi pulau kegiatan ekonomi bagi warga gugus pulau Makayoa.
Pola migrasi mandiri Masyarakat Makian di berbagai pulau, dari angka kelahiran dan kepadatan penduduk yang tinggi menjadi atensi pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial merumuskan kebijakan Transmigrasi bersifat local yang dikenal dengan Translog, untuk memindahkan penduduk ke pulau lain dengan Tingkat kepadatan penduduk yang rendah.
Pulau dengan Tingkat kepadatan penduduk yang rendah teridentifikasi di Pulau Halmahera, dengan sebaran penduduk yang tidak merata, ketersedian ruang bagi kegiatan ekonomi, menciptakan pola hubungan social dan interaksi antar Masyarakat di sebuah kawasan pendudukan Tentara Jepang sebelum peristiwa Hiroshima dan Nagasaki, menjadi pilihan wilayah pemukiman baru bagi penduduk Pulau Makian, dengan basudara penduduk asli yang telah bermukim di Lokasi tersebut dikenal dengan Malifut.
Kecintaan warga Makian pada pulau leluhurnya menjadi Gerakan penolakan yang massif, namun dengan strategi pemerintah memberikan nama Kecamatan Malifut dengan nama Kecamatan Malifut Makian Daratan (PP 42) adalah cara negara memberi nilai pada warga demi perlindungan social.
Makian Kayoa adalah Kawasan tumbuh baru dari pola migrasi penduduk yang membentuk gugus pulau sebagai satu kesatuan social, ekonomi, budaya yang terintegrasi dalam Nusantara menegaskan ruang laut dan daratan bukan penghambat bagi pembangunan Kawasan.
Laut dan darat sebagai jalan kehidupan warga yang tumbuh utuh dalam pola interaksi social, ekonomi, budaya dan pembangunan yang tak terpisahkan.
Bagi bangsa-bangsa continental memandang laut sebagai pemisah, laut sebagai hambatan, laut sebagai garis batas, tapi tidak bagi masyarakat gugus pulau yang memandang laut sebagai jembatan interaksi social yang kokoh dalam menjaga ketahanan alam telah dibentuk jalan yang melintasi antar pulau dengan sebutan Kora-Kora.
Kora-kora adalah jalan kehidupan yang menjembatani antar pulau, melintasi hubungan social, ekonomi, pemerintahan dan penyatuan yang kokoh dalam sebuah wilayah gugus pulau. Kora-kora adalah sebuah jalan penyatuan darat dan laut sebagai moda transportasi yang menyatukan tanah dan air menjadi tanah air yang tak terpisahkan.
Kora-kora membutuhkan inisiasi konstruktif dalam mengatasi ruang laut dan darat melalu skema moda transportasi yang tak terpisahkan dalam wilayah gugus pulau, Kora-kora bukanlah sebuah perahu yang hanya melakukan pergerakan antar pulau yang menempatkan dermaga sebagai pintu transit penyambung air dan tanah, kora-kora adalah satu kesatuan yang utuh dari fungsi ruang laut dan darat yang tak terpisahkan dalam moda transportasi tanah air.
Moloku Kie Raha membentuk model pemerintahan yang menempatkan gugus pulau sebagai satu kesatuan yang utuh, terpisah pada ruang depan, Tengah dan belakang menjadi satu kesatuan laut dan darat, Moloku Kie Raha tidak memisahkan atas dasar pulau, dalam konteks kie mara ma Sarabi adalah ruang depan dari proses interaksi perubahan yang hakiki atas datang dan hadirnya kebedaan sebagai nilai dasar dari ma fato-fato, sebagai transformasi kebedaan atas alam semesta yang menghadirkan kebedaan sebagai anugrah yang dirajut ilmu pengetahuan untuk perubahan. (Red/tim)