“Manipulasi Dapodik dan Pungutan Uang Ujian Picu Keresahan Warga Sagawele”
LABUHA, 28 Mei 2025— Kepala Sekolah SMP Negeri 57 Halmahera Selatan, Muhammad Darso, S.Pd, yang bertugas di Desa Sagawele, Kecamatan Kayoa Selatan, diduga melakukan berbagai pelanggaran serius yang mengguncang kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan. Praktik manipulatif dan tindakan otoriter yang dilaporkan terjadi di lingkungan sekolah memicu protes keras dari masyarakat dan pelajar.
Ketua Umum Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Sagawele (IPMAS), Riski A. Rahman, menyoroti sejumlah kebijakan kepala sekolah yang dianggap menyimpang dan mencederai nilai-nilai pendidikan. Salah satunya adalah ketidakpatuhan terhadap surat resmi dari Pemerintah Desa Sagawele pada 17 Agustus 2024, yang mengundang siswa untuk berpartisipasi dalam upacara HUT RI. Undangan tersebut diabaikan tanpa penjelasan dari pihak sekolah.
“Bahkan pada Hari Pendidikan Nasional 2 Mei lalu, SMPN 57 tidak ikut upacara bersama SDN Sagawele dan SMK Global Nusantara. Ini mencerminkan sikap antisosial dari lembaga pendidikan terhadap komunitasnya sendiri,” tegas Riski.
IPMAS juga mengungkap bahwa dalam kegiatan penilaian desa oleh Tim PKK Halmahera Selatan, kepala sekolah justru melarang siswa terlibat, padahal sudah ada surat resmi dari pemerintah desa. Ironisnya, siswa yang tetap berpartisipasi malah dihukum dan dilarang mengikuti kegiatan apel serta masuk kelas sebelum kepala sekolah hadir.
“Tindakan ini telah mencabut hak pendidikan siswa dan bertentangan dengan filosofi Ki Hadjar Dewantara tentang Trisentra Pendidikan — sinergi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat,”ujar Riski.
Lebih jauh, IPMAS juga mengungkap praktik manipulasi dalam sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Seorang anggota keluarga kepala sekolah yang tidak pernah mengajar dilaporkan telah dimasukkan dalam sistem Dapodik, dan kini bahkan telah lulus seleksi PPPK . Sementara itu, sejumlah guru honorer yang telah lama mengabdi justru tidak diakomodir -bahkan disebut-sebut harus membayar agar bisa dimasukkan ke Dapodik.
"Ini penghinaan terhadap guru honorer. Mereka yang tulus mengabdi justru disingkirkan, sementara orang dalam diprioritaskan," ujar salah satu penasehat IPMAS yang enggan disebut namanya.
Tak hanya itu, sekolah juga diduga melakukan pungutan liar berupa uang ujian yang tidak memiliki dasar hukum jelas dan dinilai memberatkan siswa.
IPMAS secara tegas mendesak Bupati Halmahera Selatan, Hasan Ali Bassam Kasuba dan Kepala Dinas Pendidikan, Siti Khodijah untuk segera mengambil tindakan. Organisasi ini menilai Kepala SMPN 57 telah melanggar etika pendidikan, menyalahgunakan jabatan, dan menciptakan suasana represif di lingkungan sekolah.
"Jika tidak ditindak tegas, ini akan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan kita. Sekolah bukan tempat penyalahgunaan kekuasaan," tandas Riski.
Keresahan juga dirasakan masyarakat Sagawele, baik yang berada di kampung halaman maupun yang merantau. Mereka menyatakan dukungan penuh terhadap sikap IPMAS dan mengecam praktik-praktik yang mencoreng wajah pendidikan di daerah mereka.
Hingga berita ini diterbitkan, Dinas Pendidikan Kabupaten Halmahera Selatan belum memberikan tanggapan resmi terhadap desakan pemecatan maupun dugaan pelanggaran yang dilayangkan terhadap Kepala SMPN 57 Halsel. (Idham)