RUU Kepulauan: Janji Besar, Pengkhianatan Lebih Besar

Editor: Admin

Oleh

DR. MUKHTAR A. ADAM.,M.Si

Om Pala Melanesia
Pertemuan antara DPD RI dan para kepala daerah yang mengklaim sebagai daerah kepulauan di Senayan baru-baru ini tampak seperti ajang berkumpulnya para pejuang kepulauan. Semangat itu begitu besar hingga ramai diberitakan di media sosial, seolah mereka sedang memperjuangkan kepentingan pembangunan wilayah kepulauan dalam negara kepulauan. Namun, ketika Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan dibaca ulang dan substansinya dicermati, tampak jelas bahwa arah kebijakan yang dibawa tidak menyentuh inti persoalan masyarakat pulau. Regulasi ini justru berpotensi menjadi simbol administratif belaka, tanpa mampu menyelesaikan akar ketimpangan pembangunan di wilayah kepulauan Indonesia.

Konsep Kepulauan yang Salah Kaprah

RUU Kepulauan menetapkan status provinsi kepulauan berdasarkan dua indikator: wilayah laut lebih luas daripada daratan dan adanya gugusan pulau yang dianggap satu kesatuan sosial budaya. Formulasi ini mengandung dua kelemahan mendasar.

Pertama, indikator “laut lebih luas dari daratan” adalah karakter struktural seluruh wilayah Indonesia sejak Deklarasi Juanda 1957 dan pengakuan UNCLOS 1982. Dengan daratan ±1,9 juta km² dan perairan ±5,9 juta km², Indonesia sebagai satu entitas telah diakui sebagai negara kepulauan. Karena itu, hampir seluruh provinsi bisa dikategorikan sebagai “provinsi kepulauan” jika indikatornya sesederhana perbandingan luas laut-darat.

Kedua, rumusan tersebut tidak menggambarkan tantangan nyata masyarakat berbasis pulau kecil berpenduduk. Mereka menghadapi fragmentasi ruang, keterbatasan layanan dasar, biaya logistik tinggi, dan konektivitas yang buruk. Mengukur “kepulauan” tanpa variabel kerentanan dan kesenjangan layanan publik hanya akan menghasilkan kebijakan yang keliru dan salah sasaran.

Orientasi Fiskal Tanpa Kejelasan Subjek Manfaat

Tidak dapat dipungkiri bahwa pendorong utama munculnya RUU ini adalah keinginan memperoleh insentif fiskal melalui skema pendanaan khusus bagi provinsi yang dikategorikan sebagai daerah kepulauan. Namun orientasi tersebut cenderung menempatkan kepentingan birokrasi daerah di atas kebutuhan masyarakat pulau.

Kebijakan afirmasi fiskal seharusnya berbasis pada:
  • tingkat keterisolasian masyarakat,
  • biaya penyelenggaraan pemerintahan antar-pulau,
  • akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan, transportasi, pangan, dan layanan dasar lain.

Sayangnya, RUU dalam bentuk sekarang tidak memuat ukuran objektif seperti:
  • Jumlah dan kondisi pulau kecil berpenduduk,
  • Indeks konektivitas laut,
  • Indeks disparitas harga antar-pulau,
  • Indeks ketimpangan layanan publik.

Tanpa indikator tersebut, insentif fiskal justru berpotensi dinikmati pusat administratif provinsi sementara penduduk pulau kecil tetap terpinggirkan.

Menjauh dari Semangat Deklarasi Juanda

Deklarasi Juanda memperjuangkan konsep negara kepulauan sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, dan hukum dengan tujuan pemerataan pembangunan dari Sabang hingga Merauke. Semangat ini menjamin bahwa hak dan akses masyarakat di semua pulau besar maupun kecil dipandang setara dalam kerangka layanan publik negara.

Sebaliknya, RUU Kepulauan malah membuka potensi fragmentasi administratif baru dan kompetisi fiskal antarprovinsi tanpa ada jaminan transformasi pelayanan publik untuk masyarakat gugus pulau yang paling rentan.

Arah Kebijakan yang Semestinya

Untuk menjawab ketimpangan spasial berbasis gugus pulau, kebijakan mengenai daerah kepulauan perlu diarahkan pada tiga fondasi utama:

1.Penegasan Subjek Hukum: Pulau Kecil Berpenduduk
Mereka adalah kelompok yang mengalami kesenjangan paling tajam dalam hal biaya logistik, akses pangan, layanan dasar, dan peluang ekonomi.

2. Indikator Hukum Berbasis Kerentanan Wilayah.
Termasuk Indeks Aksesibilitas Maritim, Indeks Disparitas Layanan Publik Kepulauan, dan Indeks Fragmentasi Administratif Wilayah.

3. Desain Fiskal Afirmasi Berbasis Kinerja
Tidak hanya memberikan dana lebih, tetapi memastikan capaian konkret berupa peningkatan konektivitas laut, penurunan disparitas harga, dan perluasan layanan dasar yang terukur.

Pendekatan ini sejalan dengan prinsip ekuitas dalam desentralisasi fiskal sebagaimana diatur dalam UU 23/2014 dan UU 1/2022 tentang HKPD.

Urgensi Mengembalikan Fokus Regulasi

RUU Kepulauan hanya akan bermakna jika diletakkan dalam kerangka keadilan akses pembangunan bagi masyarakat pulau kecil berpenduduk. Regulasi ini tidak boleh berhenti pada penetapan “provinsi kepulauan” sebagai status administratif semata, tetapi harus menjadi instrumen intervensi negara untuk menjawab ketertinggalan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Keadilan kepulauan bukan soal klaim geografis, melainkan soal kehadiran negara di wilayah yang paling sulit dijangkau. Karena itu, penyempurnaan substansi RUU Kepulauan merupakan keharusan agar tidak melahirkan ketimpangan baru di atas ketimpangan lama yang hingga kini belum terselesaikan. (*) 


Editor | Idham Hasan


Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com