Triyandi Syamsuri
Penggiat Literasi
Berawal dari cerita orang-orang sepuh di masyarakat Sukawening, penulis tertarik menggali lebih dalam mengenai sosok legendaris di daerah Gugunungan, Desa Sukawening, Kecamatan Ciwidey, yang dikenal dengan nama Mbah Lampi. Beliau memiliki nama asli Jayadi Kusumah, seorang tokoh yang dihormati sebagai pejuang sekaligus penyebar agama Islam di Ciwidey pada masanya.
Mbah Lampi tidak hanya dikenal sebagai penyebar agama, namun juga sebagai seorang yang berjasa besar dalam memajukan ekonomi masyarakat sekitar. Beliau membuka hutan belantara dan membuat saluran pengairan di wilayah Ciwidey, terutama di daerah Sukawening. Hal ini dilakukan untuk membantu masyarakat yang saat itu kekurangan lahan dan sarana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti sandang, papan, dan pangan. Kehidupan masyarakat di Ciwidey kala itu sangat sulit, dan kehadiran Mbah Lampi membawa perubahan besar.
Mbah Lampi adalah anak dari Raden Jaya Manggala, yang juga dikenal dengan nama Mbah Ranceni, tokoh yang berasal dari Kabupaten Sukapura (sekarang dikenal sebagai Tasikmalaya). Mbah Ranceni pindah ke Ciwidey sekitar tahun 1808 M, saat pembukaan Cadas Pangeran, dan menetap di Citawa, Cilame, Sungapan. Raden Jaya Manggala memiliki dua anak, yaitu Jayadi Kusumah (Mbah Lampi) dan Ranceni, anak perempuan yang namanya diabadikan dalam nama ayahnya sebagai Mbah Ranceni.
Awalnya, Mbah Lampi tinggal bersama ayahnya di Citawa dan ikut menyebarkan ajaran Islam di wilayah Ciwidey. Di sinilah beliau bertemu dengan Hajah Siti Dewi, yang kemudian menjadi istrinya. Setelah menikah, Mbah Lampi melihat bahwa perekonomian masyarakat di Ciwidey masih belum stabil. Banyak kebutuhan dasar yang sulit didapatkan, sehingga ia berinisiatif mengajak keluarganya untuk membabat hutan dan membuat saluran pengairan yang kelak sangat membantu masyarakat dalam bidang pertanian.
Menurut Haji Tedi Budiman S. Ag. M.Si, seorang tokoh kebudayaan dari Kecamatan Ciwidey, Mbah Lampi mengambil air dari beberapa titik, termasuk dari Gunung Tambak Gruyung, Gunung Masjid, dan daerah Gambung. Air tersebut kemudian disalurkan ke wilayah Ciwidey, menciptakan dua jalur utama: satu menuju Ciwidey dan Pasir Jambu, dan satu lagi melewati Cikoneng. Kedua aliran air ini bertemu di makam Eyang Kabuyutan, yang menjadikan tanah Ciwidey sangat subur dan cocok untuk pertanian.
Tidak dijelaskan secara pasti kapan Mbah Lampi mulai menetap di Gugunungan, namun setelah menikah, beliau diketahui tinggal di sana dan mengajar ilmu agama. Di gugunungan, beliau dikenal sebagai pengajar ilmu agama, dan ketika turun ke kampung-kampung sekitar, ia juga mengajarkan ilmu umum. Banyak masyarakat yang datang ke gugunungan untuk belajar agama darinya. Tak sedikit yang mengatakan bahwa Mbah Lampi adalah seorang wali karena keberhasilannya merubah hutan belantara menjadi lahan pertanian yang subur, serta keahliannya dalam ilmu tauhid dan tasawuf. Ustadz Nandang, yang tinggal dekat makam Mbah Lampi di bawah gugunungan, juga menyebutkan hal ini.
Kisah Mbah Lampi juga dikisahkan oleh KH. DRS U. Hadissomantria, M.Sc, Ketua Pondok Pesantren Rancagede, Lebakmuncang. Menurut beliau, Mbah Lampi berperan besar dalam perkembangan pendidikan dan ekonomi di Ciwidey. Dengan peralatan sederhana, Mbah Lampi berhasil membabat hutan dan menyalurkan air ke berbagai tempat. Namun, upayanya membuka jalur air ke arah Kampung Bojong Jambu sempat terhenti karena kerusakan alat-alat kerja seperti pacul dan garu. Jalur tersebut baru berhasil dibuat setelah Mbah Lampi membuka jalur lain terlebih dahulu dari arah Liyo, yang kemudian ditarik menuju Bojong Jambu.
Makam Mbah Lampi di gugunungan sebenarnya telah diakui sebagai bagian dari situs sejarah Kecamatan Ciwidey, seperti yang disebutkan oleh H. Kuswara M.Pd, Ketua DKM Masjid Al-Hikmah Bojong Jambu. Namun, entah mengapa, sejarah Gugunungan dan Mbah Lampi hampir terlupakan oleh generasi sekarang. Padahal, Ciwidey memiliki banyak tokoh bersejarah yang luar biasa, dan kisah mereka seharusnya diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Pada masa lalu, meski tanpa teknologi modern seperti ponsel dan alat digital, sejarah ini tetap terjaga melalui penyampaian lisan dari generasi ke generasi. Meskipun terdapat berbagai versi kisah, masyarakat tetap mengenal tokoh besar seperti Mbah Lampi. Namun kini, ada kekhawatiran bahwa sejarah tersebut akan hilang jika tidak ada yang melestarikannya.
Mbah Lampi adalah sosok yang bersejarah bagi masyarakat Ciwidey. Kisah perjuangannya sepatutnya tidak dilupakan oleh generasi penerus. Penulis berharap kita semua dapat menjaga tradisi dan melanjutkan perjuangan leluhur kita sebagai pewaris kebudayaan dan sejarah di tanah kelahiran kita. (Red/tim)